01 September 2011, lucu ya aku masih mengingatnya?
Kalau tetiba detak jam memutar terbalik, aku tak ingin melakukan
apapun di tanggal itu.
Kalau tetiba detak jam memutar terbalik, kau adalah
satu-satunya orang yang tak ingin ku kenal.
Kalau tetiba detak jam memutar terbalik, kita adalah hal
yang tidak ingin ku temui, dibagian manapun.
Aku masih ingat saat pertama kita kenal, saling menyapa di
sebuah jejaring sosial.
Aku masih ingat saat pertama kita kenal, sapamu, candamu,
suaramu, terngiang jelas.
Aku masih ingat saat pertama kita kenal, telepon tiga jam
tengah malam itu, ingat?
Sekitar kurang lebih lima bulan, kita berjalan tanpa status. Menurutku
saat itu, apalah arti status kalau bisa terus merasakan manisnya “kita”. Namun,
berkali-kali kamu mencoba membuat perjalanan itu menarik, berkesan dan bermakna dengan
memunculkan sebuah status diantara “kita”. Akhirnya, 25 Januari 2012, “kita”
semakin jelas. Aku sempat heran, hubungan ini terbuat dari 100% gula asli atau
pemanis buatan, ya? Aku belum pernah merasakan rasa manis yang seperti itu
sebelumnya.
Tapi layaknya sebuah hubungan, ada wahana-wahana yang
membuatku menangis di dalamnya, ada nyamuk-nyamuk nakal yang membuat penyakit
diantara “kita”, ada persimpangan-persimpangan yang membingungkan untuk dilewati.
Namun sesakit-sakitnya aku, rasa syukurku masih lebih besar.
30 September 2012, “kita” berada di persimpangan, yang
kemudian memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri. Aku pernah berjanji padamu
untuk tak kembali berjalan bersamamu, bukan? Naifnya, aku ingkar. Aku kembali
mengulang kesalahan yang sama pada tanggal 28 Februari 2013. Aku memakan
pemanis buatan yang kau suguhkan, aku merasa bodoh.
Kembali terulang, 09 Mei 2013, “kita” berada di
persimpangan. Kali ini, bukan “kita” yang memutuskan, tapi kamu yang memaksa “kita”
berjalan masing-masing. Tak akan kembali berjalan bersama, itulah janji yang
masih aku pegang, hingga detik ini.
Enambelas bulan, bukan waktu yang terlalu singkat atau
terlalu lama. Dalam enambelas bulan perjalanan “kita”, aku belajar mencintai
seseorang mulai dari lebih hingga kurangnya. Sesungguhnya, aku merindukan
banyak hal. Tentang kamu, tentang kita. Kebiasaan “kita” setiap hari, suara,
bahu, pipi, senyum, mata, semua hal tentang dirimu. Senyum itu, mata cokelat
itu, hanya kamu tuannya.
Sekarang, aku belajar merelakan. Aku ikhlas, namun mengapa
hati ini tetap kekeh menunggu perubahanmu? Asal kamu
tahu, setelah berkali-kali memberitahu bahwa kamu tak akan pernah berubah,
bahwa kebahagiaan yang dulu tak akan pernah bereinkarnasi lagi, hati ini tetap
pada pendiriannya, tetap padamu.
Kalau kamu mau kejujuranku, sesungguhnya tak lagi kutemukan
dirimu yang dulu. Aku bahkan tak kenal kamu yang sekarang, aku bahkan tak kenal
“kita” yang sekarang. You’ve changed. Kamu tau hukum aksi-reaksi, kan? Aksimu,
perubahanmu, memberikan reaksi yang sama padaku, perubahanku. Kamu tahu? Aku
bahkan tak kenal aku yang sekarang.
Aku sekarang buta rasa, kebal. Tak bisa membedakan mana
sedih, mana senang. Mana luka, mana bahagia. Mana kejujuran, mana kebohongan. Bisa
kamu jelaskan mengapa aku begini?
Mungkin aku sudah terlalu biasa, sudah menjadi
barang wajar bagiku menerima sedih, senang, luka, bahagia, jujur atau bohong darimu. Aku sudah terlalu kebal, perasaanku telah mati. Bahkan, aku hanya mampu berdiam
diri saat kamu membuatku sedih, menggores luka, atau berbohong padaku, bahkan
aku tak bisa meninggalkanmu setelah semua itu. Betapapun kamu tak akan mengerti bahwa, aku sedang membunuh diriku perlahan,
hanya untuk seonggok daging, yang bahkan masih kupegang tulang rusuknya.
What should I do? I’m lost.
(20/06/13)